TULUNGAGUNG – Di tengah arus modernisasi dan gaya hidup serba instan, satu tradisi khas masyarakat Tulungagung tetap bertahan dan bahkan makin digemari: nyethe. Tradisi yang berarti mengoleskan ampas kopi ke batang rokok ini, masih menjadi bagian dari budaya ngopi di berbagai sudut warung kopi (warkop) hingga pelosok desa.
Bukan sekadar kebiasaan, nyethe telah menjelma menjadi seni unik yang mencerminkan identitas dan kreativitas warga Tulungagung. Ampas kopi yang kental diolah sedemikian rupa hingga bisa dilukiskan ke batang rokok menggunakan alat sederhana seperti tusuk gigi, korek, hingga jarum jahit. Hasilnya? Rokok-rokok bermotif batik, tribal, hingga tulisan nama seseorang yang tak jarang membuat siapa pun terkesima.
Dari Ngopi Jadi Tradisi
Kopi dan cethe di Tulungagung ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Tradisi ini tumbuh sejak era 1980-an, kala para petani atau buruh ladang menikmati waktu istirahatnya sambil menyeruput kopi hitam. Daripada membuang ampas kopi begitu saja, mereka mulai “bermain” dengan endapan itu dan menjadikannya sebagai alat ekspresi.
Seiring waktu, tradisi ini berkembang menjadi simbol silaturahmi dan kebersamaan. Dari warkop kecil di sudut kampung hingga warung hits di pusat kota, kegiatan nyethe menjadi bagian dari rutinitas. Bahkan, tak sedikit yang rela antre demi mendapatkan kopi ijo atau kopi hitam khas Tulungagung hanya untuk bisa “menyethe” dengan sempurna.
Kopi Tulungagung: Kental, Pekat, dan Penuh Cerita
Salah satu kekuatan nyethe terletak pada kualitas kopinya. Tulungagung dikenal memiliki jenis kopi khas seperti kopi ijo—minuman berbahan dasar kopi yang dicampur bahan seperti kacang hijau dan menghasilkan warna kehijauan. Rasanya pekat, aromanya khas, dan ampasnya sempurna untuk nyethe.
Kopi jenis ini banyak dijumpai di Desa Bolorejo, Kecamatan Kauman, yang menjadi salah satu sentra produksi kopi lokal. Tak heran jika Tulungagung belakangan ini disebut-sebut layak menyandang gelar “Kota Seribu Warkop”. Hampir di tiap jalan utama maupun gang sempit, warung kopi menjamur sebagai tempat bertemunya berbagai lapisan masyarakat—dari petani, ASN, pemuda kreatif, hingga tokoh masyarakat.
Bukan Sekadar Seni, Tapi Warisan Budaya
Kini, nyethe tak hanya dipraktikkan sebagai pengisi waktu luang, tapi juga dilombakan. Beberapa festival budaya daerah bahkan menjadikan nyethe sebagai cabang perlombaan tersendiri. Komunitas-komunitas pembuat motif cethe mulai bermunculan dan memperkenalkan karya mereka melalui media sosial, bahkan di pasar nasional.
Tradisi ini adalah potret bagaimana budaya lokal tetap hidup dan beradaptasi. Ia bukan hanya bentuk estetika, tapi juga perlawanan terhadap homogenisasi budaya modern. Cethe mengajarkan kesabaran, kreativitas, dan—yang terpenting—kebersamaan.
Edukasi: Warisan yang Perlu Dijaga
Meski berakar pada kebiasaan merokok dan minum kopi, budaya nyethe dapat didekati dari sisi seni dan budaya, bukan sekadar gaya hidup. Banyak anak muda yang mulai belajar teknik nyethe, bukan untuk dihisap, tapi sebagai bagian dari ekspresi seni visual yang bisa diapresiasi siapa pun. Bahkan beberapa seniman lokal sudah mulai membuat karya berbasis cethe sebagai lukisan atau ornamen.
Dengan tetap memberikan edukasi akan bahaya merokok, pelestarian cethe bisa diarahkan pada aspek artistik dan nilai kebersamaan yang dikandungnya. Karena pada akhirnya, setiap cangkir kopi dan batang rokok yang dihias cethe membawa pesan: bahwa budaya adalah tentang rasa, kebersamaan, dan warisan.