TULUNGAGUNG – Peringatan Hari Batik Nasional 2025 menjadi momen refleksi.
Bukan hanya soal pelestarian, melainkan juga adaptasi batik di era digital.
Perkembangan teknologi digital yang semakin masif, ditambah kehadiran kecerdasan buatan (AI), menjadi tantangan tersendiri bagi seniman batik di Indonesia, khususnya di Kabupaten Tulungagung.
Namun faktanya, karya seni batik sentuhan emosional manusia tetap belum bisa digantikan oleh AI.
Hal tersebut disampaikan oleh Aji Bram, desainer batik internasional asal Kabupaten Tulungagung yang kini berkarier di Swiss.
Menurut dia, perkembangan zaman yang ditopang teknologi modern, termasuk kecerdasan buatan (AI), telah membawa banyak kemudahan bagi manusia dalam berbagai bidang.
Tak terkecuali dunia desain batik.
“AI bisa dimanfaatkan untuk mempercepat karya, menekan biaya, hingga menghasilkan produksi lebih banyak,” ungkap Aji Bram.
Meski demikian, dia menegaskan bahwa kehadiran AI tidak bisa sepenuhnya menggantikan karya manusia.
Perbedaan halus antara batik hasil karya tangan dan desain berbasis mesin tetap nyata jika diperhatikan secara seksama.
“Bagaimanapun craftsmanship, the irreplaceable human touch, tidak bisa digeser oleh teknologi. Karena di dalam karya manusia ada nilai emosional, rasa, intuisi, ide, hingga prinsip yang berbeda-beda, dan itu tidak mungkin ditiru oleh AI,” jelasnya.
Bagi Aji Bram, batik bukan sekadar motif kain, melainkan representasi filosofi, identitas, dan karakter bangsa.
Oleh sebab itu, meskipun teknologi mampu menghadirkan inovasi, penghargaan terhadap sentuhan tangan manusia tetap harus dijaga.
Peringatan Hari Batik Nasional tahun ini pun, menurutnya, harus menjadi ruang bagi generasi muda untuk terus melestarikan batik sambil membuka diri terhadap perkembangan zaman.
Tanpa kehilangan ruh budaya yang terkandung di dalamnya. (sri/c1/din)