BLITAR – Film dokumenter berjudul More Than Home berhasil menembus tahap seleksi awal Festival Film Indonesia (FFI) 2025.
Film ini hasil karya Linda Nursanti, warga Desa Kuningan, Kecamatan Kanigoro, Blitar.
Ini menjadi salah satu film yang mengangkat isu disabilitas dari sudut pandang berbeda: rumah sebagai ruang tumbuh, berinteraksi, dan berdaya bersama.
“Saya tentu sangat bangga film More Than Home diapresiasi oleh pihak FFI. Ini jadi motivasi tersendiri bagi saya untuk terus berkarya,” ujar Linda kepada Jawa Pos Radar Blitar, ketika ditemui di rumahnya, kemarin (7/10).
Linda mengungkapkan, ide awal pembuatan film ini justru berangkat dari rasa ketidaktahuannya terhadap cara berinteraksi dengan teman-teman disabilitas.
“Saya dulu sering takut salah ngomong atau menyinggung mereka. Dari ketidaktahuan itulah, saya mulai ingin tahu lebih jauh lewat film ini,” tuturnya.
Rasa ingin tahu tersebut menjadi modal utama dalam menyelami kehidupan para penyandang disabilitas.
Dia mencoba memahami sudut pandang mereka ketika berinteraksi dengan lingkungan baru, harapan-harapan mereka, dan pesan yang ingin mereka sampaikan kepada masyarakat luas.
Gagasan awal More Than Home bermula dari ajakan sahabat Linda, Yanu, asal Trenggalek.
Dia mendapat support dari Dana Indonesia.
Yanu memiliki komunitas bersama penyandang disabilitas yang kemudian melahirkan kawasan bernama Nema, sebuah “kawasan inklusif” di mana penyandang disabilitas dan non-disabilitas tinggal berdampingan.
Tarya, seorang guru di sekolah luar biasa (SLB), yang menginisiasi tentang film ini.
“Tarya ini punya inisiatif besar. Dari awal, ia ingin film ini berbicara tentang potensi teman-teman disabilitas, bukan semata tentang keterbatasan mereka,” jelas Linda.
Sebagai sutradara, Linda memilih “rumah” sebagai simbol utama dalam film ini.
Baginya, rumah bukan sekadar tempat tinggal, melainkan ruang yang merepresentasikan kemandirian dan keberdayaan.
Dalam kawasan inklusif yang dibangun Tarya, setiap rumah dirancang menyesuaikan kebutuhan penyandang disabilitas.
“Misalnya, Cak Mat, tokoh utama kami, yang hidup dengan cerebral palsy. Saklarnya dibuat rendah, pintu digeser ke bawah, semua disesuaikan agar mereka nyaman,” kata Linda.
Selain arsitektur yang ramah disabilitas, Linda menyoroti hubungan sosial antarwarga di kawasan tersebut.
Filmnya merekam interaksi sehari-hari antara penyandang disabilitas dan masyarakat umum yang hidup berdampingan tanpa sekat.
Sebagai sutradara perempuan, Linda mengaku sempat menghadapi tantangan di lapangan, terutama soal kepercayaan tim produksi.
“Kadang disepelekan juga, ya. Saya sempat merasa arahan saya tidak dijalankan maksimal, sampai akhirnya saya putuskan untuk syuting ulang,” kenang ibu satu anak ini.
Meski begitu, Linda menganggap proses tersebut bagian dari pembelajaran.
“Film ini jadi bukti kalau kerja keras dan konsistensi penting banget, apalagi di dunia film dokumenter yang serbadinamis,” ujarnya.
Film More Than Home juga memotret kisah personal Cak Emat, penyandang cerebral palsy yang menjadi tokoh utama.
Melalui ceritanya, penonton diajak melihat sisi manusiawi yang sering luput: cinta, harapan, dan kemandirian.
“Penonton banyak yang tertawa sekaligus terharu, terutama waktu mendengar kisah cinta Cak Emat yang penuh liku,” ungkap Linda.
Film berdusari 30 menit ini telah beberapa kali diputar dalam pemutaran komunitas dan mendapat sambutan positif.
Ke depan, Linda berencana memperluas penayangan ke sekolah, komunitas, hingga lembaga publik.
“Saya ingin More Than Home bisa diputar di tempat seperti Perpustakaan Bung Karno. Mereka terbuka untuk kolaborasi, dan ini kesempatan bagus agar filmnya menjangkau lebih banyak orang,” kata Linda.
Sebagai penutup, Linda berpesan kepada perempuan muda di Blitar yang ingin menekuni dunia film agar memulai dari hal yang paling dekat dengan diri sendiri.
“Awalilah dari keresahanmu. Apa yang mengganggu pikiranmu atau unek-unekmu, jadikan itu bahan untuk berkarya,” tutur perempuan 31 tahun ini.
Menurutnya, karya yang lahir dari kejujuran dan kegelisahan akan lebih kuat dan otentik.
“Kalau dari hati, prosesnya memang panjang, tapi hasilnya akan punya makna,” tambahnya.
Selain More Than Home, Linda dan timnya tengah menyiapkan dua film dokumenter lain yang juga mengangkat isu sosial di Blitar.
Salah satunya bertema “Disabilitas Mental di Desa Ponggok” yang bercerita tentang bagaimana masyarakat berupaya hidup berdampingan dengan warga penyandang disabilitas mental.
“Film ini bukan hanya untuk ditonton, tapi juga mengajak kita berbuat sesuatu. Kami bahkan merintis usaha bersama teman-teman disabilitas mental,” jelas alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta jurusan film dan televisi ini.
Dalam proses pendokumentasian, Linda dan tim juga mendapatkan arahan dari mentor asal India.
“Dia bilang budaya Timur itu lebih arif. Ketika seseorang mengalami gangguan mental, masyarakat Timur cenderung memanusiakan, bukan memaksa sembuh. Itu nilai yang kami bawa dalam film,” kata Linda.
Nilai kemanusiaan dan perspektif inklusif inilah yang membuat karya Linda terasa kuat dan relevan dengan konteks sosial masyarakat saat ini.
Proses pembuatan film dokumenter, menurut Linda, menuntut kesabaran tinggi.
“Yang paling berat itu nunggu momen. Kita harus benar-benar sabar sampai cerita itu muncul dengan sendirinya,” ujarnya.
Dia menjelaskan, proses pascaproduksi juga tak kalah menantang.
“Kita harus berani kill your darling, membuang adegan yang susah payah kita dapat tapi tidak mendukung alur cerita,” tambahnya sambil tersenyum.
Sebelum produksi, tim Linda melakukan riset lapangan selama berbulan-bulan.
Mereka tinggal bersama masyarakat, mengamati kebiasaan, dan merekam keseharian tokoh-tokoh yang diangkat.
“Kalau dokumenter, ceritanya bisa berubah terus tergantung momen yang kita dapat di lapangan,” ujarnya.
Pendekatan semacam ini membuat film Linda terasa jujur dan dekat dengan realitas sosial.
Dia percaya dokumenter bukan sekadar karya visual, melainkan bentuk advokasi yang bisa mendorong perubahan sosial.
Kini, More Than Home menjadi simbol semangat kreatif sineas daerah yang mampu bersuara di panggung nasional.
“Kami bikin film ini sambil ngarit, ngingu domba,” kata Linda sambil tertawa kecil.
“Tapi mungkin karena niatnya tulus, jalannya dibukakan,” tambahnya.
Dengan semangat yang sama, Linda berharap semakin banyak anak muda Blitar berani berkarya dari keresahan sendiri.
“Film dokumenter itu bukan soal kamera, tapi soal empati,” pungkasnya.(*/c1/sub)