TRENGGALEK – Desa Wonoanti, Kecamatan Gandusari, dikenal sebagai salah satu sentra industri kerajinan anyaman bambu terbesar di Kabupaten Trenggalek.
Hampir setiap hari, puluhan warga desa setempat memproduksi berbagai jenis anyaman, terutama caping atau topi bambu yang menjadi ciri khas desa ini.
Salah satu perajin bambu, Mahrup, menjelaskan bahwa dalam sehari mampu membuat antara empat hingga lima buah caping.
Setiap caping dijual dengan harga berkisar antara Rp 9.000 hingga Rp 12.000 tergantung kondisi pasar.
“Biasanya hasil kerajinan kami dititipkan ke pasar atau pengepul yang datang setiap minggu,” ujar Mahrup, Kamis (10/10).
Dengan adanya pengepul, maka akan lebih mudah untuk lakukan pemasaran. Sebab akan dipasarkan orang lain, sedangkan perajin hanya membuat.
“Jika ada banyak pengepul, para perajin akan lebih terbantu dan bisa menambah produksi anyaman bambu,” tandasnya.
Kepala Desa Wonoanti, Yanto mengungkapkan, sekitar 60 persen warga Wonoanti bekerja sebagai perajin anyaman bambu.
Hampir di setiap rumah warga, aktivitas membuat anyaman bambu menjadi kegiatan harian yang sudah berlangsung turun-temurun.
“Bukan hanya bentuk kreativitas, tapi juga bagian dari ketahanan ekonomi warga kami,” kata Yanto.
Dia berharap ke depan produk anyaman bambu dari Wonoanti semakin dikenal luas. Tidak hanya di wilayah Trenggalek, tetapi hingga ke luar daerah.
“Semoga kerajinan ini bisa terus berkembang dan menjadi sumber pendapatan utama warga, sekaligus memperkuat perekonomian masyarakat Wonoanti,” tandasnya.
Industri anyaman bambu di Wonoanti kini menjadi bukti nyata bagaimana kearifan lokal dan keterampilan tradisional mampu menjadi penggerak ekonomi masyarakat pedesaan di Trenggalek.
Dia berharap ciri khas Desa Wonoanti ini tetap bertahan hingga nanti agar bisa jadi ikon desa yang sudah puluhan tahun. (gun/c1/din)