BLITAR – Siapa sangka, dari hobi mengoleksi tanaman karnivora saat kuliah, Adewina Nugroho kini menjelma menjadi eksporter tanaman hias.
Bahkan, dia kini memiliki perusahaan sendiri, dan telah mengirim berbagai jenis tanaman hias khas Indonesia ke lebih dari 60 negara.
Ini bukti bahwa hobi bisa menjadi jalan meraih cuan.
Kecintaannya pada tanaman bermula dari ketertarikan pada Venus flytrap atau nama lain untuk tanaman pemakan serangga yang kerap muncul di film.
Dari situ, dia mulai menekuni dunia tanaman karnivora ini.
“Awalnya hanya tukar-menukar tanaman dengan teman dari luar negeri. Lama-lama kok terasa potensial,” ungkap Adewina.
Momentum besar datang saat pandemi Covid-19 melanda.
Ketika orang-orang di luar negeri menghabiskan waktu di rumah, permintaan tanaman hias melonjak tajam.
Nah, tanaman kuping gajah yang di pasar lokal hanya Rp 15 ribu, ternyata di pasar online bisa terjual hingga Rp 1 juta per daun.
“Itu benar-benar titik balik. Banyak hal yang harganya murah, tapi di pasar global justru harga sangat tinggi, ya misalnya tanaman kuping gajah ini,” tuturnya.
Meski sempat ingin berhenti karena ketatnya regulasi barang ekspor, ditambah lagi persaingan harga dengan China serta Thailand, dia tetap berupaya bertahan apa pun caranya.
Dia kemudian mendirikan greenhouse, berinvestasi hingga ratusan juta rupiah, dan terus mencari celah pasar.
“Pada 2023, saya bekerja sama dengan saudara di Amerika Serikat, dan mencoba membuka jalur penjualan melalui toko fisik di sana,” bebernya.
Ternyata langkah itu merupakan pembuka jalan bagi penjualan bunga-bunga ini.
Kini, setiap minggu, ratusan tanaman asal Blitar dan sekitarnya rutin terbang ke California, Alaska, hingga Miami.
“Khusus pasar Amerika, satu minggu sekali kita kirim 60 sampai 250 tanaman,” akunya.
Bagi Adewina, kunci sukses ekspor bukan sekadar memiliki tanaman langka, melainkan membaca selera pasar luar negeri.
“Kalau di Indonesia orang suka bunga berwarna-warni, di luar negeri justru lebih suka pada bunga, dari bentuk daunnya dan kelangkaan spesies,” terangnya.
Potensi tanaman hias lokal, menurutnya, masih luar biasa.
Dia mencontohkan tanaman Hoya atau sirih hutan, yang banyak tumbuh liar di kawasan Gunung Kelud, ternyata diburu kolektor luar negeri dengan harga dolar.
Tak hanya berbisnis, Adewina kini juga bermitra dengan kelompok wanita tani di Kota Blitar.
Ada 12 kelompok yang didampingi dalam pembibitan tanaman hias.
Hasil perbanyakan bibit mereka dibeli kembali oleh perusahaannya untuk dijual ke luar negeri.
“Harapannya tahun depan kita bisa bersaing dengan China dan Thailand. Bukan hanya dari segi kualitas, tapi juga kuantitas dan harga,” tutur Adewina penuh optimisme. (*/c1/ady)